New Materialism adalah pendekatan filsafat yang berusaha menolak dikotomi klasik antara materi dan makna, tubuh dan pikiran, atau materialitas dan diskursus. Judith Butler, meskipun lebih dikenal dengan teori performativitas gendernya, juga dapat dikaitkan dengan aspek tertentu dari New Materialism, terutama dalam cara ia memahami tubuh dan agensi. Kita akan membahas sekilas bagaimana pemikiran Butler bersinggungan dengan New Materialism serta mengkritisi kelemahan dan keterbatasannya.
Judith Butler berargumen bahwa tubuh bukanlah entitas pasif yang hanya menerima norma sosial, melainkan sebuah medan yang terus-menerus dikonstruksi melalui praktik sosial dan wacana (discourse). Butler mengkritik materialisme tradisional yang melihat tubuh sebagai sesuatu yang tetap dan esensial. Sebaliknya, ia mengusulkan bahwa tubuh menjadi bermakna melalui proses performatif, di mana norma-norma sosial membentuk pemahaman kita tentang tubuh.
Pendekatan
ini bersinggungan dengan New Materialism karena menekankan bagaimana
materialitas tubuh tidak bisa dipisahkan dari konstruksi sosial dan wacana.
Bagi Butler, tubuh memiliki dimensi material yang tak dapat disangkal, tetapi
keberadaannya selalu dimediasi oleh wacana atau diskursus. Ini kontras dengan
pemikiran klasik yang memisahkan antara yang biologis dan yang sosial.
Dalam hal
ini, iterative citationality, konsep yang diperkenalkan oleh Judith
Butler, menjadi penting dibahas dalam kaitannya dengan teori
performativitasnya. Konsep ini menjelaskan bahwa identitas (termasuk gender,
subjektivitas, dan norma sosial) tidak pernah tetap, tetapi terus-menerus
diciptakan dan dipertahankan melalui pengulangan (iterasi) dan kutipan (citation)
terhadap norma yang sudah ada.
Bagaimana
Cara Kerjanya? Penting dicatat bahwa identitas atau norma sosial tidak muncul
begitu saja, tetapi selalu mengacu pada sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Contohnya,
cara kita memahami “laki-laki” atau “perempuan” bukanlah sesuatu yang alami,
tetapi hasil dari pengulangan representasi budaya dan sosial.
Lebih
lanjut, setiap kali identitas atau norma diulang, ada kemungkinan perubahan
atau pergeseran makna. Contohnya, jika seorang laki-laki mengenakan rok dalam
budaya yang biasanya mengasosiasikan rok dengan perempuan, ia tidak hanya
mengulang norma gender, tetapi juga berpotensi menggesernya. Oleh karena
identitas selalu dikonstruksi melalui pengulangan, maka tidak ada identitas
yang benar-benar stabil atau esensial. Contohnya, norma tentang kejantanan atau
kewanitaan berubah seiring waktu karena cara kita mengutip dan menafsirkan
ulang makna-makna ini.
Meskipun iterative
citationality berasal dari teori poststrukturalis Judith Butler yang lebih
menekankan pada wacana dan bahasa, konsep ini memiliki titik temu dan
ketegangan dengan New Materialism, terutama dalam hal bagaimana kita
memahami materi dan identitas sebagai sesuatu yang dinamis.
Baik iterative
citationality maupun New Materialism menolak gagasan bahwa identitas
atau realitas bersifat tetap dan esensial. Butler berpendapat bahwa identitas
terbentuk melalui pengulangan dan tidak pernah stabil. Begitu pula, New
Materialism melihat bahwa materi selalu dalam proses menjadi (becoming)
dan bukan sesuatu yang pasif. Ini berarti bahwa baik bahasa maupun materi tidak
pernah final, tetapi selalu dapat berubah berdasarkan interaksi dan konteksnya.
Contohnya,
dalam pandangan Butler, gender bukan sesuatu yang alami atau tetap, tetapi
dihasilkan melalui pengulangan norma sosial. Sementara, dalam New
Materialism, tubuh dan materialitas juga tidak tetap, tetapi selalu
berinteraksi dan berubah berdasarkan lingkungan serta teknologi. Hormon dalam
tubuh manusia tidak statis, tetapi bisa diubah melalui obat-obatan atau
interaksi dengan lingkungan; ini adalah contoh bagaimana materi tidak hanya
dikonstruksi oleh wacana, tetapi juga memiliki agensinya sendiri
Kritik
utama New Materialism terhadap Butler adalah bahwa dalam teori iterative
citationality, materi (tubuh, alam, dunia fisik) masih dianggap sebagai
sesuatu yang “pasif” dan hanya berarti dalam hubungannya dengan wacana. Butler
berargumen bahwa materi (terutama tubuh) hanya muncul dalam wacana karena gagal
sepenuhnya direpresentasikan. Dengan kata lain, materi itu penting hanya karena
ia terus-menerus “menolak” untuk sepenuhnya ditangkap oleh bahasa.
New
Materialism
menolak pandangan tersebut karena materi tidak hanya “mendukung”—dan kemudian
bergantung pada—wacana, tetapi juga memiliki daya aktifnya sendiri. Contohnya, Butler
melihat bahwa tubuh perempuan dikonstruksi sebagai sesuatu yang “kurang”
dibanding tubuh laki-laki karena bahasa dan norma sosial. New Materialism
menambahkan bahwa bukan hanya bahasa yang membentuk tubuh, tetapi tubuh itu
sendiri memiliki kapasitas material untuk berubah—misalnya, melalui hormon,
makanan, atau bahkan perubahan lingkungan.
Dengan kata lain, meskipun
menawarkan gagasan yang tajam, pemikiran Butler menghadapi beberapa
kritik, terutama dalam konteks New Materialism di muka. Pertama, gagasan
Butler terlalu fokus pada wacana dan performativitas. Salah satu kritik utama
terhadap Butler adalah bahwa ia tetap terlalu berorientasi pada wacana dan
bahasa. Meskipun ia mengakui materialitas tubuh, pendekatannya masih lebih
menekankan bagaimana tubuh dikonstruksi oleh norma sosial daripada bagaimana tubuh
itu sendiri memiliki bentuk agensi. New Materialism menuntut pemikiran
yang lebih mendalam mengenai bagaimana materialitas memiliki kekuatan dan
dinamika tersendiri di luar wacana manusia.
Sebagai
contoh, pendekatan Butler mungkin kesulitan menjelaskan bagaimana tubuh
bereaksi secara biologis terhadap perubahan lingkungan, seperti perubahan
hormon, tanpa melibatkan narasi sosial. New Materialism yang lebih
radikal, seperti yang dikembangkan oleh Karen Barad, menekankan bahwa
materialitas itu sendiri memiliki agensi, bukan hanya sebagai produk wacana.
Kedua, Butler kurang perhatian pada aspek
ekologi dan lingkungan. Dengan kata lain, ia kurang perhatian terhadap bagaimana
hubungan antara tubuh manusia dan lingkungan material di luar dirinya terjadi.
Butler terutama berfokus pada tubuh manusia sebagai entitas sosial yang
dibentuk oleh norma, tetapi kurang membahas bagaimana tubuh juga merupakan
bagian dari jaringan ekologis yang lebih luas.
Sebagai
contoh, dalam diskusi tentang krisis iklim, New Materialism menekankan
bagaimana interaksi antara tubuh manusia dan lingkungan saling mempengaruhi,
sementara Butler lebih fokus pada bagaimana tubuh manusia dikonstruksi oleh
norma gender dan sosial.
Ketiga, gagasan Butler menghadapi
kesulitan dalam membangun politik material yang konkret. Meskipun teorinya
membuka ruang bagi resistensi terhadap norma-norma dominan, banyak kritikus
berpendapat bahwa pemikirannya lebih banyak beroperasi di tingkat wacana
ketimbang dalam aksi nyata.
Sebagai
contoh, dalam konteks perjuangan hak-hak transgender, pemikiran Butler sangat
berharga dalam menantang konsep gender biner. Namun, tantangan praktis yang
dihadapi oleh individu transgender, seperti akses terhadap layanan kesehatan
atau perlindungan hukum, sering kali memerlukan pendekatan material yang lebih
nyata daripada sekadar analisis wacana.
Sebagai
respons terhadap kelemahan-kelemahan pemikiran Butler tersebut pemikir seperti
Karen Barad dan Rosi Braidotti menawarkan pendekatan New Materialism
yang lebih menekankan interaksi antara materialitas dan wacana secara setara.
Dengan demikian, penggabungan antara teori Butler dan perspektif New
Materialism yang lebih radikal dapat menghasilkan pemahaman yang lebih
holistik tentang hubungan antara tubuh, lingkungan, dan agensi material.
0 Komentar