Dalam beberapa dekade terakhir, New Materialism muncul sebagai sebuah pendekatan filsafat yang meninjau kembali dikotomi tradisional antara materialitas dan idealitas, serta menolak reduksi materialisme klasik terhadap determinisme fisik. Berbeda dari materialisme historis maupun mekanistik, New Materialism menawarkan pemahaman yang lebih dinamis tentang materi, yang mencakup agensi, keterhubungan, dan vitalisme non-antropomorfik. Dengan pendekatan ini, materi bukan sekadar objek pasif yang dapat dipahami melalui hukum deterministik, melainkan entitas yang memiliki kapasitas untuk bertindak dan berinteraksi dalam jejaring relasional yang kompleks.
Secara
historis, materialisme dalam filsafat Barat telah berkembang melalui beberapa
tahapan utama. Materialisme klasik dimulai sejak filsafat Yunani kuno, dengan
pemikir seperti Demokritos dan Epikuros yang melihat materi sebagai atom yang
membentuk realitas. Di era modern, materialisme berkembang dalam bentuk
mekanistik, terutama melalui filsuf seperti Thomas Hobbes dan Pierre-Simon
Laplace, yang memandang dunia sebagai sistem deterministik yang tunduk pada
hukum fisika.
Pada abad
ke-19, Karl Marx dan Friedrich Engels mengembangkan materialisme historis, yang
menekankan pentingnya kondisi material dalam membentuk struktur sosial dan
ekonomi. Materialisme dialektis Marx bertolak belakang dengan materialisme
mekanistik, karena ia mengakui perubahan historis melalui kontradiksi dan
perjuangan kelas. Namun, materialisme historis tetap berbasis pada konsep bahwa
materi mendeterminasi kesadaran, meskipun dalam bentuk yang lebih kompleks.
Di abad
ke-20, muncul berbagai kritik terhadap determinisme materialisme klasik,
terutama dari pemikir post-strukturalis dan pascamodern. Michel Foucault,
Gilles Deleuze, dan Jacques Derrida mengkritik pandangan bahwa realitas sosial
dapat direduksi hanya pada faktor material dan lebih menekankan konstruksi
diskursif serta permainan kekuasaan dalam produksi makna. Namun, kritik ini
sering kali dianggap mengabaikan materialitas dan jatuh ke dalam relativisme
yang terlalu menekankan bahasa dan representasi.
Dalam
konteks inilah New Materialism muncul, sebagai reaksi terhadap dualisme
antara materialitas dan konstruksi sosial yang mendominasi pemikiran
post-strukturalis. Ia berusaha mengintegrasikan pemikiran post-humanis dan
perspektif non-reduksionis tentang materi, dengan tetap mengakui pentingnya
agensi dan relasi dalam pembentukan dunia.
Secara
filosofis, New Materialism mengusung beberapa prinsip utama yang
membedakannya dari materialisme klasik dan post-strukturalisme. Salah satu ciri
khasnya adalah gagasan bahwa materi bukanlah sesuatu yang statis dan pasif,
tetapi memiliki kapasitas untuk bertindak (agensi material). Pemikiran ini
terinspirasi oleh filsuf seperti Baruch Spinoza, Henri Bergson, dan Alfred
North Whitehead, yang mengembangkan konsep tentang dinamika materi dan
vitalisme.
Salah satu
pemikir utama dalam New Materialism adalah Jane Bennett, yang
mengusulkan konsep “vital materialism”, gagasan bahwa materi memiliki kehidupan
dan daya aktifnya sendiri. Ia berargumen bahwa objek-objek di dunia, mulai dari
sampah hingga infrastruktur perkotaan, memiliki bentuk agensi yang mempengaruhi
manusia dan ekosistem. Hal ini menantang pandangan antropo-sentris yang
memisahkan manusia dari benda dan lingkungan sekitarnya.
Pemikir
lain, Karen Barad, mengembangkan konsep agential realism, yang
menggabungkan teori kuantum dengan filsafat post-strukturalis. Barad menolak
pemisahan subjek-objek dalam epistemologi tradisional dan mengajukan gagasan
bahwa realitas terbentuk melalui intra-aksi (intra-action), sebuah
konsep yang menekankan keterhubungan antara entitas dalam membentuk pengalaman
dan pengetahuan.
Pendekatan
New Materialism memiliki implikasi luas dalam berbagai disiplin ilmu,
termasuk filsafat, kajian feminisme, ekologi, dan ilmu sosial. Dalam kajian
feminisme, Rosi Braidotti mengembangkan teori materialisme post-humanis yang
mengkritik konsep identitas esensialis serta menekankan keterhubungan antara
tubuh, teknologi, dan lingkungan dalam membentuk subjektivitas.
Di bidang
ekologi, New Materialism menawarkan cara baru untuk memahami hubungan
manusia dengan alam, dengan menekankan bahwa alam bukan sekadar sumber daya
yang dieksploitasi, tetapi entitas yang memiliki peran aktif dalam jejaring
kehidupan. Hal ini juga berkontribusi pada perdebatan mengenai perubahan iklim,
dengan menunjukkan bagaimana materialitas seperti karbon, air, dan udara
memiliki dampak yang tidak dapat direduksi hanya pada kebijakan sosial atau
ekonomi.
Dalam ilmu
sosial, New Materialism menantang paradigma yang terlalu fokus pada
konstruksi sosial dan bahasa, dengan mengakui bahwa realitas material memiliki
peran dalam membentuk pengalaman manusia. Hal ini membuka ruang bagi penelitian
yang lebih holistik dalam memahami fenomena sosial, termasuk dalam kajian
teknologi, urbanisme, dan ekonomi politik.
Ringkasnya,
New Materialism muncul sebagai respons terhadap keterbatasan
materialisme klasik dan post-strukturalisme dalam memahami realitas. Dengan
menekankan agensi material, keterhubungan, dan dinamika non-deterministik,
pendekatan ini menawarkan perspektif baru dalam memahami dunia yang lebih
kompleks dan non-antroposentris. Dalam menghadapi tantangan global seperti
perubahan iklim, perkembangan teknologi, dan krisis ekologi, New Materialism
memberikan landasan filosofis yang dapat membantu kita mengembangkan cara
berpikir yang lebih inklusif dan berorientasi pada keberlanjutan.
0 Komentar