Revolusi, dalam sejarah manusia, bukan hanya perubahan kekuasaan, tetapi momen ketika suatu bangsa menggugat masa lalu dan merancang masa depan. Ia adalah peristiwa yang merobek kontinuitas, membuka kemungkinan, dan memaksa manusia untuk memikirkan kembali siapa mereka dan akan menjadi apa mereka. Dalam konteks Indonesia, Revolusi Kemerdekaan 1945–1949 bukan semata-mata peristiwa politik dan militer, melainkan juga momen filsafat yang dalam—di mana identitas nasional diciptakan, dinegosiasikan, dan diperebutkan.
Secara
historis, Revolusi Indonesia lahir dari tumpukan krisis: penjajahan Belanda
selama tiga abad, pendudukan Jepang yang brutal, serta ketegangan antara
berbagai kelompok sosial, etnis, dan ideologis di Hindia Belanda. Nasionalisme
Indonesia bukanlah produk yang tunggal dan seragam, melainkan hasil dari
pergulatan panjang antara identitas lokal, agama, dan pengaruh global.
Dalam
semangat revolusi, “Indonesia” tidak lagi sekadar nama geografis, tetapi proyek
politis dan eksistensial yang baru. Maka, revolusi ini tidak hanya memerdekakan
dari kekuasaan asing, tetapi juga menciptakan kerangka imajinasi kolektif:
siapa yang termasuk dalam “kami” dan siapa yang berada di luar.
Dalam
pengertian ini, revolusi adalah momen ontologis. Dalam bahasa filsuf Jerman
Martin Heidegger, revolusi bisa dipahami sebagai Ereignis, peristiwa
pemunculan kebenaran yang mengguncang tatanan yang mapan. Ia memunculkan
kemungkinan-kemungkinan baru dalam berpikir dan bertindak. Dalam revolusi
Indonesia, kebenaran itu muncul dalam bentuk nasionalisme: suatu keyakinan
bahwa berbagai entitas yang berbeda-beda—Jawa, Batak, Bugis, Tionghoa, Muslim,
Kristen, masyarakat adat, Madura dan sebagainya—dapat dipersatukan dalam satu identitas politik. Namun,
nasionalisme ini tidak bebas dari paradoks. Ia memerlukan homogenisasi simbolik
dan politis yang kerap menekan perbedaan lokal.
Filosof
Emmanuel Levinas mengingatkan kita bahwa identitas tidak bisa dibangun tanpa
mengakui wajah Liyan (the Other). Dalam semangat ini, revolusi harus
dibaca tidak hanya sebagai pembebasan dari kolonialisme Eropa, tetapi juga
sebagai proses yang sering kali menindas bentuk-bentuk identitas lokal dan
spiritualitas pribumi yang tidak sesuai dengan nalar modern-nasional. Banyak
komunitas adat, kelompok minoritas, dan struktur sosial tradisional yang tidak
menemukan tempat dalam kerangka negara-bangsa modern yang muncul dari revolusi.
Namun,
revolusi juga membuka kemungkinan untuk berpikir ulang. Di tengah tumpukan
arsip dan reruntuhan sejarah, kita dapat membaca kembali nasionalisme bukan
sebagai proyek yang sudah selesai, tetapi sebagai medan perjuangan yang terus
berlangsung. Pertanyaan-pertanyaan seperti “Apa artinya menjadi Indonesia?” dan
“Siapa yang memiliki hak atas identitas nasional?” tetap relevan hari ini,
terutama di tengah krisis ekologis, konflik sosial, dan gelombang baru
kesadaran dekolonial.
Dalam
terang itu, revolusi bukan hanya peristiwa yang telah berlalu, melainkan
pengalaman filosofis yang hidup, sebuah panggilan untuk terus berpikir, merasa,
dan bertindak dalam semangat kebebasan dan keterbukaan terhadap yang berbeda.
Nasionalisme sejati bukan tentang menutup diri, tetapi tentang membuka ruang
bagi keberagaman untuk hidup secara setara. Dan identitas, sebagaimana
revolusi, adalah sesuatu yang terus dibentuk dalam perjumpaan dengan masa lalu,
tantangan hari ini, dan harapan akan masa depan.
0 Komentar