Lingkungan hidup dalam pemikiran Islam merupakan aspek praktik keagamaan yang beraneka ragam dan sangat terintegrasi, yang melampaui gagasan sederhana tentang “Islam hijau” yang mesti sejalan dengan paradigma ekologi Barat. Persinggungan ajaran Islam dan lingkungan hidup mengungkap suatu kerangka berpikir yang tidak hanya tentang konservasi dan keberlanjutan, tetapi lebih pada pandangan dunia intrinsik yang menghubungkan spiritualitas, etika, hukum, dan tanggung jawab manusia terhadap lingkungan.
Wacana
tentang lingkungan hidup Islam sering kali dibentuk oleh perspektif eksternal
yang berupaya memanfaatkan agama untuk agenda ekologi global. Namun,
pemeriksaan yang lebih cermat terhadap tradisi historis, hukum, dan teologis
dalam Islam menghadirkan pendekatan yang lebih bernuansa dan autentik terhadap
tanggung jawab lingkungan.
Salah satu
argumen utamanya adalah bahwa lingkungan hidup dalam Islam bukanlah konstruksi
eksternal yang dipaksakan pada Islam, tetapi lebih merupakan komponen organik
dari keimanan itu sendiri. Tidak seperti gerakan lingkungan hidup modern yang
muncul terutama sebagai reaksi terhadap industrialisasi dan krisis ekologi,
pandangan dunia Islam secara inheren mengakui keterkaitan semua ciptaan.
Prinsip
tauhid (keesaan Tuhan) menggarisbawahi kesatuan eksistensi, menempatkan alam
sebagai manifestasi hakiki dalam tatanan ilahi. Dalam kerangka ini, manusia
tidak terpisah dari alam; sebaliknya, mereka adalah pengurus (khalifah) yang
dipercayakan untuk merawatnya. Konsep pengelolaan ini bukanlah tanggung jawab
sekuler, melainkan tugas suci yang tertanam dalam wacana teologis yang lebih
luas tentang akuntabilitas (hisab) di akhirat.
Pemikiran
lingkungan hidup dalam Islam juga menemukan ekspresi dalam yurisprudensi
(fiqh), di mana lingkungan tidak hanya dilihat sebagai sumber daya, tetapi
sebagai entitas yang memiliki hak. Tradisi hukum Islam mengandung
prinsip-prinsip yang mempromosikan keadilan lingkungan, seperti larangan
pemborosan (israf) dan dorongan moderasi (wasatiyyah). Para ahli
hukum klasik mengembangkan peraturan untuk penggunaan lahan, konservasi air,
dan kesejahteraan hewan, yang mencerminkan pengakuan mendasar terhadap
pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan.
Kerangka
hukum dan etika ini mendahului masalah ekologi kontemporer dan menunjukkan
bahwa Islam telah lama menyediakan mekanisme untuk keseimbangan lingkungan.
Namun, interpretasi modern sering kali mengabaikan warisan yang kaya ini, dan
sebaliknya berfokus pada penyelarasan Islam dengan model etika lingkungan Barat
tanpa sepenuhnya melibatkan tradisi intelektual aslinya.
Tantangan
utama dalam membahas Islam dan lingkungan hidup adalah bagaimana Islam
dibingkai dalam wacana global. Dalam banyak kasus, Islam digunakan sebagai alat
untuk mempromosikan inisiatif lingkungan yang berasal dari luar masyarakat
mayoritas Muslim. Meskipun pendekatan ini dapat mendorong partisipasi yang
lebih luas dalam upaya keberlanjutan, pendekatan ini berisiko mereduksi Islam
menjadi seperangkat nilai lingkungan, alih-alih mengakuinya sebagai pandangan
dunia yang komprehensif.
Kecenderungan
untuk mengekstrak ayat-ayat Al-Quran dan hadis yang selaras dengan etika hijau
tanpa mempertimbangkan konteks teologis dan sosialnya mengarah pada pemahaman tentang
lingkungan hidup Islam yang terfragmentasi dan sering kali dangkal. Aspek
penting lainnya adalah peran dimensi yang tak terlihat dalam perspektif Islam
tentang alam.
Yang tak
terlihat (ghayb) merupakan hal mendasar dalam Islam, yang memengaruhi
cara orang beriman memandang realitas, etika, dan peran mereka di dunia. Tidak
seperti gerakan lingkungan hidup sekuler yang semata-mata mengandalkan sains
empiris, lingkungan hidup Islam menggabungkan unsur-unsur metafisik, termasuk
keadilan ilahi, akhirat, dan keseimbangan kosmik.
Kepercayaan bahwa setiap tindakan, termasuk perlakuan seseorang terhadap lingkungan, dicatat dan dipertanggungjawabkan di akhirat memberikan dorongan moral yang melampaui masalah material langsung. Pandangan eskatologis ini menumbuhkan rasa tanggung jawab yang tidak hanya terikat pada kondisi ekologis saat ini, melainkan juga pada konsekuensi abadi secara ukhrawi.
Selain
itu, sufisme telah memainkan peran penting dalam membentuk kesadaran ekologis
dalam tradisi Islam. Banyak ajaran sufi menekankan keselarasan dengan alam,
melihat alam sebagai refleksi keindahan ilahi. Praktik seperti zikir dan penyucian
diri menumbuhkan kesadaran akan tempat seseorang di dunia alami. Namun, wacana
akademis tentang Islam dan lingkungan hidup sering kali meminggirkan kontribusi
sufi, lebih menyukai pendekatan legalistik dan doktrinal.
Mengakui
peran sufisme dalam etika lingkungan Islam memberikan pemahaman yang lebih
holistik tentang bagaimana komunitas Muslim terlibat dengan isu-isu ekologis di
luar ketentuan hukum. Meskipun lingkungan hidup Islam berakar kuat dalam
tradisi keagamaan, perwujudannya di masa kini sangat bervariasi di berbagai
masyarakat Muslim. Beberapa pendekatan berfokus pada menghidupkan kembali
prinsip-prinsip hukum klasik, sementara yang lain memadukan temuan ilmiah
modern dengan etika Islam.
Gerakan
akar rumput di negara-negara mayoritas muslim menunjukkan bagaimana kesadaran
lingkungan dibentuk oleh konteks sosial, ekonomi, dan politik setempat.
Misalnya, inisiatif di Indonesia menekankan pengetahuan ekologi tradisional,
sedangkan gerakan di Timur Tengah mungkin lebih selaras dengan perspektif hukum
Islam. Keragaman ini menggoyang gagasan kaku tentang “lingkungan hidup Islam”
tunggal dan menyoroti pentingnya mempelajari bagaimana komunitas muslim secara
aktif terlibat dengan masalah lingkungan dengan berbagai cara.
Hal
penting yang dapat diambil adalah bahwa lingkungan hidup Islam tidak boleh
dipahami sebagai adaptasi dari etika lingkungan Barat, tetapi sebagai paradigma
berbeda yang menawarkan cara-cara alternatif untuk berhubungan dengan alam.
Penekanan pada akuntabilitas ilahi, integrasi etika dengan hukum, dan pengakuan
dimensi yang tak terlihat jelas membedakannya dari kerangka ekologi sekuler.
Daripada sekadar mengadopsi model keberlanjutan global, pemikiran lingkungan muslim
berkontribusi pada percakapan yang lebih luas tentang bagaimana berbagai
peradaban secara historis mengelola hubungan mereka dengan lingkungan.
Studi
tentang lingkungan hidup Islam dalam bidang humaniora lingkungan yang lebih
luas mengajak para sarjanawan untuk memikirkan kembali narasi dominan tentang
agama dan ekologi. Daripada memandang Islam sebagai peserta pasif dalam wacana
lingkungan hidup, Islam harus diakui sebagai tradisi dengan kontribusi
intelektual dan praktisnya sendiri terhadap keberlanjutan. Pandangan ini
mengalihkan fokus dari Islam sebagai objek studi ke Islam sebagai sumber
pengetahuan dan wawasan dalam mengatasi tantangan ekologi kontemporer.
Pada
akhirnya, lingkungan hidup Islam merupakan wacana yang dinamis dan terus
berkembang yang mencakup teologi, hukum, spiritualitas, dan praktik masyarakat.
Untuk terlibat dengannya secara bermakna, para sarjanawan dan pendukung
lingkungan hidup harus bergerak melampaui pendekatan instrumentalis dan
sebaliknya berusaha memahami landasan epistemologis dan etika yang lebih dalam perihal
pandangan muslim tentang alam. Dengan melakukan hal itu, wacana lingkungan
hidup yang lebih inklusif dan komprehensif dapat muncul, yang menghargai
keragaman cara manusia berhubungan dengan alam.
0 Komentar