Ad Code

Responsive Advertisement

“Lebih-dari-Manusia” dan Multinaturalisme: Memikirkan Kembali Hubungan Manusia-Alam

Dalam diskusi kontemporer tentang ontologi dan ekologi, konsep “lebih dari manusia” (more-than-human) dan “multinaturalisme” menawarkan pergeseran paradigma dalam memahami hubungan antara manusia, makhluk nonmanusia, dan lingkungan.

Pandangan ini tentu antagonistis terhadap pandangan antroposentris yang secara historis mendominasi pemikiran Barat, mengusulkan kerangka kerja alternatif di mana agensi, subjektivitas, dan realitas didistribusikan di luar pengalaman manusia. Dengan menjalin wawasan dari pascahumanisme, epistemologi adat, dan filsafat ekologi, konsep-konsep ini memberikan cara yang menarik untuk memikirkan kembali keberadaan di era krisis lingkungan dan pluralisme ontologis.

Istilah “lebih dari manusia” muncul dari wacana pascahumanis dan ekologis yang berusaha untuk mendesentralisasikan keistimewaan manusia. Frasa konseptual ini menekankan keterhubungan semua makhluk hidup, dengan menandaskan bahwa pengalaman manusia tertanam dalam jaringan ekologi yang lebih luas. Daripada memposisikan manusia sebagai makhluk yang berbeda atau lebih unggul dari alam, pandangan “lebih dari manusia” mengakui agensi, kecerdasan, dan kapasitas afektif makhluk nonmanusia: hewan, tumbuhan, lanskap, dan bahkan entitas teknologi.

Kerangka berpikir ini menolak dualisme Cartesian, yang secara kaku memisahkan manusia dari alam, dan lebih selaras dengan ontologi relasional yang ditemukan dalam tradisi adat. Misalnya, dalam banyak pandangan dunia animisme, sungai, gunung, dan hutan bukan sekadar objek, melainkan entitas berakal yang dengannya manusia terlibat dalam hubungan timbal balik. Pandangan ini juga selaras dengan etika ekologi kontemporer, di mana pertimbangan keadilan multispesies dan tanggung jawab lingkungan menuntut pengakuan agensi nonmanusia dalam membentuk masa depan planet.

Multinaturalisme: Pluralisme Ontologis

Multinaturalisme, sebuah konsep yang diperkenalkan oleh antropolog Eduardo Viveiros de Castro, semakin memperumit pemisahan alam-budaya dengan mengusulkan bahwa makhluk yang berbeda menghuni realitas yang berbeda tetapi sama-sama valid.

Berbeda dengan multikulturalisme, yang mengasumsikan satu alam yang dilihat melalui berbagai sudut pandang budaya, multinaturalisme menegaskan bahwa ada banyak alam, masing-masing dibentuk oleh makhluk yang menghuninya. Ide ini berakar pada perspektivisme Amazon, di mana jaguar, dukun, dan manusia memandang realitas secara berbeda, bukan sebagai masalah interpretasi subjektif tetapi sebagai kondisi ontologis.

Misalnya, dalam pemikiran Amazon asli, manusia dan hewan mungkin berbagi esensi tetapi mengalami dunia dari sudut pandang tubuh dan ekologis yang berbeda. Apa yang tampak sebagai darah bagi jaguar mungkin dianggap sebagai bir oleh manusia, menunjukkan perubahan radikal dari naturalisme Barat, yang mengasumsikan satu alam yang objektif. Multiplisitas ontologis ini mengundang evaluasi ulang atas hierarki epistemologis dan menantang paradigma ilmiah dominan yang menguniversalkan konsepsi realitas tertentu.

Pandangan “lebih dari manusia” dan multinaturalisme tentu memiliki implikasi mendalam bagi etika lingkungan, konservasi, dan tata kelola kehidupan. Dengan mengakui peran makhluk nonmanusia dan mengakui ontologi yang beragam, kerangka pikir ini mendorong pendekatan yang lebih inklusif dan holistik terhadap krisis ekologi.

Upaya konservasi, misalnya, sering kali beroperasi dalam paradigma ilmiah Barat yang mengabaikan sistem pengetahuan adat. Namun, pendekatan multinaturalis akan memvalidasi pengetahuan dan praktik ekologi alternatif, yang mengarah pada kebijakan lingkungan yang lebih peka terhadap konteks.

Selain itu, mengadopsi perspektif “lebih dari manusia” dapat mengubah perencanaan kota, pertanian, dan teknologi dengan mengedepankan koeksistensi multispesies. Konsep seperti “spesies pendamping” (Donna Haraway) dan “bentang alam pascamanusia” (Timothy Morton) menyoroti bagaimana infrastruktur manusia harus mengakomodasi kebutuhan dan pengalaman entitas nonmanusia, yang mendorong cara yang lebih etis dan berkelanjutan untuk menghuni planet ini.

Pandangan multinaturalisme dan “lebih dari manusia” memberikan koreksi yang diperlukan terhadap kerangka antroposentris dan mononaturalis yang secara historis telah membentuk pemikiran modern. Dengan merangkul pluralisme ontologis dan mengakui peran makhluk nonmanusia, pendekatan ini menawarkan jalur baru untuk memikirkan kembali ekologi, etika, dan hubungan manusia-alam. Di era krisis iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati, mengintegrasikan kerangka pikir ini ke dalam wacana filosofis, politik, dan ilmiah bukan sekadar latihan intelektual, tetapi kebutuhan mendesak untuk kelangsungan hidup planet ini.

Posting Komentar

0 Komentar