Ad Code

Responsive Advertisement

“Lebih dari Dunia Manusia” dan Implikasi Hukum

Dalam diskusi kontemporer tentang ontologi dan ekologi, konsep “lebih dari dunia manusia” (more-than-human world) yang diperkenalkan oleh David Abram menawarkan perubahan radikal dalam memahami hubungan antara manusia, makhluk nonmanusia, dan lingkungan.

Pandangan ini berhadapan langsung pada pandangan antroposentris yang secara historis mendominasi pemikiran Barat, mengusulkan titik pijak di mana agensi, subjektivitas, dan realitas didistribusikan di luar pengalaman manusia. Dengan mengaitkan wawasan dari fenomenologi, animisme, dan filsafat ekologi, gagasan Abram memberikan cara yang menarik untuk memikirkan kembali keberadaan di era krisis lingkungan. Lebih jauh, pemikirannya memiliki implikasi yang mendalam bagi hukum, khususnya dalam wacana yang muncul tentang “hak yang lebih dari sekadar manusia”.

Konsep David Abram tentang “lebih dari dunia manusia” berakar dalam fenomenologi, khususnya karya Maurice Merleau-Ponty, yang menekankan persepsi yang diwujudkan sebagai cara utama untuk terlibat dengan realitas. Abram memperluas pendekatan fenomenologis ini dengan menyatakan bahwa persepsi manusia selalu terjerat dengan lingkungan sekitarnya. Ia mengkritik dualisme Cartesian yang memisahkan pikiran dari tubuh dan manusia dari alam, dan mengusulkan ontologi yang lebih relasional di mana semua makhluk berpartisipasi dalam dunia yang bernyawa dan bersama.

Abram juga mengacu pada tradisi animisme, khususnya tradisi masyarakat adat, yang mengakui agensi dan subjektivitas entitas nonmanusia. Dalam karya pentingnya The Spell of the Sensuous (1996), ia menggambarkan bagaimana budaya lisan secara historis memahami lanskap, hewan, dan kekuatan alam sebagai peserta aktif di dunia. Pandangan animisme ini menantang pandangan dunia mekanistik yang telah mendominasi sains dan filsafat Barat sejak Pencerahan, yang sebaliknya meneguhkan persepsi ekologis yang mengakui kepekaan dan vitalitas dunia yang lebih dari sekadar manusia.

Pengakuan “lebih dari dunia manusia” memiliki implikasi langsung bagi kerangka hukum, khususnya dalam gerakan yang berkembang untuk hak yang lebih dari sekadar manusia. Secara tradisional, hukum bersifat antroposentris, memberikan hak secara eksklusif kepada manusia dan, dalam beberapa kasus, perusahaan.

Namun, seiring meningkatnya krisis ekologi, para sarjana hukum dan aktivis lingkungan telah mendorong perubahan paradigma yang memperluas pengakuan hukum kepada entitas nonmanusia. Salah satu perkembangan paling signifikan dalam bidang ini adalah konsep personifikasi hukum untuk alam.

Terinspirasi oleh tradisi adat dan filosofi ekologi, beberapa negara telah mulai memberikan hak kepada sungai, hutan, dan entitas alam lainnya. Misalnya, pada tahun 2017, Sungai Whanganui di Selandia Baru diberikan status badan hukum, yang mengakuinya sebagai entitas yang memiliki hak, wali, dan kedudukan hukum. Pergeseran hukum serupa telah terjadi di Ekuador, Kolombia, dan India, di mana pengadilan telah mengakui hak ekosistem untuk hidup, berkembang, dan beregenerasi.

Pengakuan hukum ini sejalan dengan visi Abram tentang dunia yang lebih dari sekadar manusia, di mana sistem hukum mencerminkan keterkaitan semua makhluk daripada hanya mengutamakan kepentingan manusia. Hak yang lebih dari sekadar manusia menggoncang bias hukum yang antroposentris dan menyerukan model tata kelola yang menggabungkan perspektif entitas nonmanusia. Ini dapat melibatkan struktur perwalian hukum, di mana perwakilan manusia mengadvokasi hak-hak hutan, sungai, dan spesies hewan, memastikan bahwa kepentingan ekologis dilindungi dalam proses pengambilan keputusan.


Meskipun pengakuan hak yang lebih dari sekadar manusia merupakan langkah penting menuju keadilan ekologis, beberapa tantangan tetap ada. Salah satu isu utama adalah penegakan hak-hak tersebut dalam kerangka hukum yang ada, yang berakar kuat dalam asumsi antroposentris. Bagaimana sungai, misalnya, dapat secara efektif mencari ganti rugi hukum? Siapa yang menentukan kepentingan terbaiknya? Pertanyaan-pertanyaan ini memerlukan mekanisme hukum dan kelembagaan yang inovatif, termasuk model tata kelola adat, pengambilan keputusan ekologi partisipatif, dan kolaborasi transdisipliner antara sarjana hukum, ahli ekologi, dan filsuf.

Lebih jauh lagi, hak-hak yang lebih dari sekadar hak asasi manusia mempertanyakan asumsi mendasar tentang properti, kedaulatan, dan agensi. Tradisi hukum Barat secara historis memperlakukan alam sebagai properti, yang tunduk pada kepemilikan dan eksploitasi manusia. Mengakui hak-hak alam memerlukan pemikiran ulang tentang hukum properti, sistem ekonomi, dan struktur politik untuk dapat bergerak menuju filosofi hukum yang merangkul relasionalitas dan interkonektivitas.

Posting Komentar

0 Komentar