Keterlibatan antaragama (interreligious engagement) telah menjadi diskursus penting dalam berbagai konteks sosial, politik, dan budaya. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh identitas keagamaan, nasionalisme, dan persaingan ekonomi, pertanyaan mendasar muncul: Bagaimana seharusnya agama berinteraksi dengan agama lain? Apakah keterlibatan antaragama sekadar usaha diplomatik yang bertujuan menciptakan harmoni permukaan, ataukah ia harus melibatkan perjumpaan eksistensial yang mengguncang dan mentransformasi para pelakunya?
Di satu
sisi, keterlibatan antaragama sering dipahami sebagai dialog formal yang
bertujuan untuk menegosiasikan pemahaman dan kesepakatan bersama. Model ini
kerap berbasis pada percakapan tekstual antara elit keagamaan, akademisi, atau
pemimpin spiritual. Namun, refleksi kritis menunjukkan bahwa pendekatan ini
mengasumsikan bahwa agama adalah entitas yang terpisah dan tetap, dengan
representasi yang dapat dinegosiasikan melalui wacana intelektual. Padahal,
dalam realitas sosiologis, agama bersifat dinamis, terbentuk dalam praktik
sehari-hari, dan seringkali lebih dipahami melalui pengalaman serta memori
kolektif daripada melalui teks dan diskursus formal.
Keterlibatan
antaragama menantang kita untuk merefleksikan hakikat pluralisme. Apakah
pluralisme hanya berarti koeksistensi damai yang menghindari konflik, ataukah
ia mengharuskan kita memasuki ruang dialog yang berisiko? John Hick, misalnya,
mengajukan gagasan bahwa semua agama adalah ekspresi dari kebenaran transenden
yang sama, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Pendekatan ini bertujuan untuk
menumbuhkan toleransi, tetapi juga dikritik karena cenderung mereduksi kekhasan
setiap tradisi keagamaan.
Di sisi
lain, pemikir seperti Emmanuel Levinas menekankan pentingnya keterlibatan
dengan yang lain sebagai pengalaman etis yang mengubah diri. Levinas
mengingatkan bahwa perjumpaan dengan agama lain seharusnya bukan sekadar
afirmasi perbedaan, tetapi keterbukaan terhadap misteri dan kerentanan yang
dimiliki oleh setiap individu.
Lebih
jauh, keterlibatan antaragama tidak bisa dilepaskan dari dimensi kuasa. Siapa
yang memiliki otoritas dalam menentukan bagaimana dialog berlangsung? Siapa
yang memiliki akses ke wacana tentang keterlibatan antaragama? Dalam banyak
kasus, model dialog yang dominan sering kali direproduksi oleh kelompok yang
memiliki akses lebih besar terhadap pendidikan, media, dan politik.
Hal ini
mengarah pada homogenisasi diskursus agama, di mana praktik dan pengalaman
keagamaan berbasis komunitas, seperti yang ditemukan dalam tradisi lisan dan
ritual, cenderung diabaikan atau dipandang sebagai bentuk keterlibatan yang “primitif”.
Pandangan ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih inklusif terhadap
keterlibatan antaragama, yang tidak hanya menekankan pada teks dan diskursus
formal, tetapi juga pada aspek budaya, afektif, dan material yang membentuk
pengalaman keberagamaan sehari-hari.
Dalam
konteks masyarakat berbasis tradisi lisan seperti Maluku, keterlibatan antaragama
lebih bersandar pada praktik sosial dan memori kolektif. Ikatan pela gandong,
misalnya, menunjukkan bahwa hubungan antar komunitas keagamaan tidak sekadar
didasarkan pada kesepakatan rasional, tetapi juga pada jaringan afektif yang
diwariskan melalui generasi. Dengan demikian, keterlibatan antaragama dalam
konteks ini bukan hanya tentang memahami ajaran agama lain, tetapi juga tentang
berbagi ruang hidup, berbagi memori, dan berbagi tanggung jawab sosial (Lattu
2023). Pendekatan ini menawarkan paradigma yang berbeda dari model diskursif
yang berbasis teks: ia menekankan bahwa keterlibatan antaragama bukanlah
sesuatu yang hanya dapat didiskusikan, tetapi harus dihidupi dalam
tindakan konkret.
Namun,
tantangan utama dari model ini adalah bagaimana ia dapat dipertahankan dalam
konteks modernisasi dan globalisasi. Dalam dunia yang semakin didominasi oleh
individualisme dan ekonomi pasar, apakah keterlibatan antaragama berbasis
komunitas masih dapat bertahan? Bagaimana memastikan bahwa ikatan sosial yang
menopang keterlibatan ini tidak larut dalam dinamika politik identitas yang
semakin eksklusif? Pertanyaan-pertanyaan ini menyoroti perlunya pendekatan
keterlibatan antaragama yang lebih adaptif, yang dapat menjembatani tradisi
lokal dengan realitas global.
Selain
itu, refleksi kritis terhadap keterlibatan antaragama juga harus
mempertimbangkan aspek epistemologisnya. Bagaimana cara kita memahami dan
berbicara tentang agama lain? Dalam sejarahnya, studi agama sering kali
dikonstruksi melalui perspektif kolonial dan orientalis yang memisahkan “agama
dunia” sebagai kategori universal, sementara praktik keagamaan lokal sering
dipandang sebagai “adat” atau “mistisisme” yang dianggap kurang rasional.
Keterlibatan antaragama yang kritis harus mampu menantang kategori-kategori ini
dan mengakui bahwa cara kita memahami agama lain selalu dibentuk oleh konteks
sosial, politik, dan historis tertentu.
Akhirnya, keterlibatan antaragama yang autentik harus melampaui sekadar retorika harmoni dan toleransi. Ia harus menjadi ruang bagi transformasi radikal—bukan hanya dalam pemahaman, tetapi juga dalam praktik sosial. Keterlibatan antaragama tidak bisa hanya menjadi proyek akademik atau politik; ia harus menjadi bagian dari perjuangan yang lebih luas untuk keadilan sosial, pengakuan, dan keterbukaan terhadap yang lain dalam segala kompleksitasnya. Hanya dengan cara ini, keterlibatan antaragama dapat menjadi lebih dari sekadar wacana, tetapi benar-benar menjadi jalan menuju dunia yang lebih inklusif dan bermakna.
0 Komentar