Salah seorang bijak bestari (sufi / sujana / stois) pernah dikunjungi seorang tamu. Melihat sekeliling ruangan, si tamu heran geleng-geleng, karena cuman menyaksikan perabotan si pemilik rumah hanyalah keset dan lampu dian atau semprong.
Dengan penasaran, ia memberanikan bertanya, “Mana lho
semua perabotanmu?”
Pemilik rumah menjawab tanya dengan tanya, “Perabotan-perabotanmu
sendiri mana lho?"
Si tamu menjawab, “Lho, aku tidak membawanya.
Aku kan di sini sebagai tamu, hanya pengunjung.”
Si pemilik rumah menjawab renyah, “Begitu pula aku.”
Hidup minimalis bukan sekadar produk dari seni hidup
dalam bersikap menahan diri dari banjir konsumerisme yang morat-marit dan badai
tumpah ruah barang-barang di era Sopi PéLètêr. Ia merupakan satu cara hidup yang,
meski sudah kuno, tak pernah usang dipraktikkan.
Relasi kita dengan barang, menurutku, adalah relasi
pikiran-barang. Di sinilah seni hidup minimalis beroperasi untuk
meredusir---bukan seminimalis mungkin, melainkan---"sehabis-habisnya"
barang-barang yang mengontaminasi atau mengolonisasi pikiran kita.
Ketika pikiran tak berelasi dengan luap ruap
barang-barang, ketenteraman (Yunani: ataraxia/apatheia) merupakan
satu tangga di depan yang niscaya gampang ditapak. Tak terelakkan, satu tangga
itu kemungkinan besar akan menghindar menjauh sejauh seberapa banyak relasi
yang pikiran kita tempelkan kepada barang-barang.
Menjadi pengunjung mungkin adalah cara yang paling
tepat-sasar untuk memahami dan memukimi (ke)hidup(an).
*11/9/2022
![]() |
Cari Vander Yacht |
0 Komentar