Aku mengambil halaman yang lalu, penanggalan yang masih kuingat lekuk guratannya di situ. Menengokmu, menjenguk bunga di dalam vas dada yang kusirami air setiap hari: air mata dan mata air mengguyur deras dari dalam hati.

(Olehmu: Petang menangkup dinding menjadi rengat bersamaan buncah ilham yang merobek-robek waktu.... dan terang nyalang menyaput atap membawa riang yang ingin meremas pilu.)

Di kamar dengan satu damar aku bernyanyi tanpa nalar dan jari-jemariku menari di tubuh gitar. Membalik halaman demi halaman tawa, memandang luka mengalir tanpa darah. Tidak! Dawai-dawai kekasih tak akan kukemasi di saat pikat pipi merona seperti lembayung, duh senyumnya yang membuatku terhuyung.

 …, duh senyumnya yang membuatku terhuyung. Kaki ini tak mau pergi. Ah, lagu-lagu yang kuungsikan sedari perjalanan subuh, merengek-rengek, ingin didendangkan, agar bertemu dengan riuh yang menabuh.

Dalam perjalanan sunyi yang kutempuh bertahun-tahun, ingin sekali jiwa bertapa di bawah atap gemawan hingga basah. Tak boleh lagi. Tak boleh lagi kata-kataku ketakutan 'tuk diketikkan. Memang, aku bergeming, bergidik oleh sayatan-sayatan waktu.

Terhadap kelak yang membebani sukma. Nyanyian ini tak boleh berhenti. Tak boleh mati. Mulutku akan melawan senyap. Bebunyian merintihkan mantra-mantra yang ‘kan selalu sama dibacakan alam untuknya. Sajak-sajak yang takkan pernah dapat dimakan rayap zaman yang di dalam sajak-sajak itu aku dilahirkan.

*10/6/2018

https://thedali.org/programs/student-surrealist-art-exhibit/