Ad Code

Responsive Advertisement

Sekilas Memikirkan Kembali Pengetahuan, Kekuasaan, dan Modernitas bersama Walter Mignolo

Walter D. Mignolo adalah seorang semiotika dan sarjana studi dekolonial Argentina yang karya-karyanya berfokus pada persimpangan pengetahuan, kolonialisme, dan struktur kekuasaan global. Ia terkenal karena mengembangkan konsep “dekolonialisme” sebagai kerangka kerja untuk melawan cara berpikir Eurosentris dan merebut kembali epistemologi subaltern.

Kajiannya membangun dan memperluas ide-ide dasar Anibal Quijano, khususnya “kolonialisme kekuasaan”, dengan menekankan peran pengetahuan dan epistemologi dalam mempertahankan struktur kolonial. Inti dari pemikiran Mignolo adalah konsep “dekolonialitas”, yang ia definisikan sebagai proyek yang bertujuan untuk membongkar warisan kolonialisme yang terus-menerus dalam produksi pengetahuan, struktur sosial, dan sistem ekonomi global.

Tidak seperti dekolonisasi, yang merujuk pada kemerdekaan politik negara-negara yang sebelumnya dijajah, dekolonialitas adalah proses berkelanjutan yang berupaya untuk menantang dan membatalkan sisa-sisa epistemik, kultural, dan ideologis dari kolonialisme yang masih membentuk masyarakat kontemporer.

Mignolo berpendapat bahwa kolonialisme tidak berakhir dengan pembubaran penjajahan secara formal. Sebaliknya, kolonialisme berevolusi menjadi bentuk kontrol yang lebih halus melalui lembaga, disiplin akademis, dan ketergantungan ekonomi. Untuk mendekolonisasi pengetahuan, Mignolo menyerukan pembangkangan epistemik yang melepaskan diri dari dominasi rasionalitas Barat dan memasukkan berbagai ragam cara mengetahui yang non-Eropasentris.

Modernitas/Kolonialitas: Hubungan yang Tak Terpisahkan

Salah satu kontribusi Mignolo yang paling berpengaruh adalah kritiknya terhadap modernitas, yang menurutnya tidak dapat dipisahkan dari kolonialisme. Ia memperkenalkan gagasan “modernitas/kolonialitas” untuk menyoroti bahwa modernitas—yang sering digambarkan sebagai lintasan universal kemajuan dan rasionalitas—dibangun melalui ekspansi kolonial, penindasan, dan eksploitasi. Dengan kata lain, apa yang disebut “pencapaian” modernitas, seperti demokrasi, sains, dan kapitalisme, dimungkinkan melalui penaklukan yang kejam terhadap masyarakat pribumi, Afrika, dan masyarakat non-Eropa lainnya.


Menurut Mignolo, struktur ganda ini—modernitas di permukaan dan kolonialisme sebagai sisi gelapnya—terus membentuk hubungan kekuasaan global. Sistem pengetahuan Barat telah diposisikan sebagai norma universal, sementara epistemologi lain dianggap primitif, tidak rasional, atau inferior. Pemikiran dekolonial menggoyang hierarki ini dan menyerukan keragaman epistemologi yang mengakui legitimasi tradisi pengetahuan non-Barat.

Konsep Mignolo tentang “pembangkangan epistemic” merupakan bagian utama dari kerangka dekolonialnya. Ia berpendapat bahwa negara-negara di belahan bumi selatan dan komunitas terpinggirkan lainnya harus menolak penerapan sistem pengetahuan Eurosentris dan merebut kembali tradisi intelektual mereka sendiri. Hal ini melibatkan pertama, pemutusan hubungan dengan epistemologi Barat. Daripada sekadar mengkritik Eurosentrisme dari dalam, para pemikir dekolonial berupaya menciptakan ruang-ruang baru produksi pengetahuan yang berakar pada tradisi pribumi, Afro-diaspora, dan tradisi non-Barat lainnya.

Kedua, mengambil kembali pengetahuan yang terpinggirkan, yaitu mngenali dan mengangkat sistem pengetahuan lokal, pribumi, dan leluhur yang telah ditekan atau dihapus oleh lembaga-lembaga kolonial dan modern.

Ketiga, menggodam disiplin akademis. Banyak disiplin ilmu, seperti antropologi, sejarah, dan ilmu politik, dibentuk oleh logika kolonial. Mignolo menyerukan restrukturisasi mendasar bidang-bidang ini untuk menggabungkan perspektif non-Barat.

Dengan terlibat dalam pembangkangan epistemik, para cendekiawan dan aktivis dapat bekerja menuju dunia yang plural—dunia tempat berbagai cara mengetahui hidup berdampingan dan berinteraksi tanpa tunduk pada kerangka kerja Barat.

Dimensi penting lain dari pemikiran Mignolo adalah keterlibatannya dengan “estetika dekolonial”, sebuah istilah yang ia kembangkan bersama untuk menggambarkan praktik seni dan budaya yang menentang kolonialisme. Estetika tradisional, menurutnya, telah dibentuk oleh standar-standar Eurosentris yang mengecualikan atau meminggirkan ekspresi seni non-Barat. Sebaliknya, estetika dekolonial berupaya untuk mengganggu standar-standar ini dengan merangkul ekspresi seni dan budaya masyarakat yang secara historis terjajah.

Seniman dekolonial menantang narasi dominan melalui seni visual, sastra, pertunjukan, dan musik yang berpusat pada perspektif pribumi, Afrika, dan perspektif terpinggirkan lainnya. Gerakan-gerakan seni ini sangat penting dalam mengalihkan wacana dari hegemoni Barat dan mendorong cara-cara alternatif dalam membayangkan dunia.

Mignolo juga meneliti bagaimana bahasa berfungsi sebagai alat dominasi kolonial. Ia mengkritik pengistimewaan bahasa-bahasa Eropa dalam wacana akademis dan politik, dengan menyatakan bahwa hal ini meminggirkan bahasa-bahasa pribumi dan non-Eropa. Pemberlakuan kolonial atas bahasa Spanyol, Inggris, dan Prancis di wilayah-wilayah yang sebelumnya dijajah mengganggu tradisi-tradisi linguistik lokal dan memaksakan epistemologi-epistemologi asing.

Untuk mengatasi hal ini, Mignolo menyerukan “penerjemahan dekolonial”, yang melibatkan tidak hanya penerjemahan linguistik tetapi juga penerjemahan sistem-sistem pengetahuan lintas budaya. Proses ini memerlukan pengakuan legitimasi bahasa-bahasa pribumi dan lokal sebagai pembawa pengetahuan, bukan sekadar dialek-dialek yang harus dimasukkan ke dalam kerangka-kerangka Barat.

Meskipun kerangka dekolonial Mignolo menawarkan kritik yang kuat terhadap kolonialitas, penerapan dekolonialitas dalam praktik menghadirkan tantangan-tantangan yang signifikan. Lembaga-lembaga seperti universitas, media, dan sistem ekonomi global sangat mengakar dalam logika kolonial, sehingga menyulitkan perubahan sistemik. Lebih jauh lagi, proyek-proyek dekolonial sering kali menghadapi perlawanan dari mereka yang mendapatkan keuntungan dari struktur kekuasaan yang ada.

Posting Komentar

0 Komentar