Paul Feyerabend merupakan filsuf yang dikenal karena pendekatan anarkisnya terhadap ilmu pengetahuan. Dalam karyanya Against Method, ia menolak gagasan bahwa sains memiliki metode universal yang dapat dijadikan standar baku dalam pencarian pengetahuan.

Feyerabend berargumen bahwa tidak ada aturan metodologis yang selalu dapat diterapkan dalam semua konteks ilmiah, dan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan sering terjadi melalui cara yang tidak konvensional dan bahkan “kacau”.

Salah satu kritik utama Feyerabend terhadap kerja sains adalah gagasannya bahwa tidak ada metode ilmiah tunggal yang dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan sains. Ia menentang pandangan rasionalisme klasik yang mengasumsikan bahwa ilmu pengetahuan berkembang melalui serangkaian prosedur logis yang ketat. Sebaliknya, Feyerabend menunjukkan bahwa sejarah sains dipenuhi dengan penyimpangan dari metode yang dianggap baku.

Menurut Feyerabend, banyak penemuan besar dalam sains muncul justru karena ilmuwan melanggar aturan metodologis yang diterima. Misalnya, Galileo dalam mengembangkan teori heliosentrisnya tidak hanya menggunakan pengamatan empiris, tetapi juga retorika dan manipulasi psikologis untuk meyakinkan orang lain. Dalam hal ini, Feyerabend berpendapat bahwa keberhasilan ilmu pengetahuan lebih berkaitan dengan kreativitas dan keberanian ilmuwan daripada kepatuhan terhadap metode yang ketat.

Feyerabend terkenal dengan semboyannya “anything goes” (apa pun boleh), yang mencerminkan sikapnya bahwa tidak ada satu metode yang lebih unggul dari yang lain dalam ilmu pengetahuan. Ia berpendapat bahwa metode ilmiah yang kaku justru menghambat inovasi dan kemajuan pengetahuan. Dalam pandangan Feyerabend, ilmuwan harus bebas mengeksplorasi berbagai pendekatan, termasuk metode yang dianggap tidak ilmiah atau bahkan irasional oleh standar konvensional.

Konsep anarkisme epistemologis yang diperkenalkan Feyerabend menekankan bahwa sains tidak berbeda secara fundamental dari bentuk pengetahuan lain, seperti mitologi, seni, atau agama. Ia menolak anggapan bahwa sains memiliki otoritas epistemik yang lebih tinggi dibandingkan dengan bidang lain. Baginya, sains hanyalah salah satu cara untuk memahami dunia, bukan satu-satunya cara.

Selain mengkritik metode ilmiah, Feyerabend juga menyoroti bagaimana sains telah menjadi “institusi yang memiliki kekuasaan hegemonik” dalam masyarakat modern. Ia menilai bahwa sains sering digunakan sebagai alat dominasi yang mengesampingkan bentuk pengetahuan lain. Dalam pandangannya, sains seharusnya tidak memiliki hak istimewa dalam menentukan apa yang dianggap sebagai kebenaran.

Feyerabend juga menekankan bahwa sains sering kali beroperasi dengan cara yang dogmatis, di mana teori yang dominan dipertahankan bukan karena superioritasnya, tetapi karena tekanan sosiopolitik dalam komunitas ilmiah. Ia menilai bahwa perbedaan antara sains dan agama dalam praktiknya tidaklah semenganga yang galib diketahui, karena keduanya bisa menjadi doktrin yang bersifat memaksa jika tidak diawasi dengan kritis.

Sebagai alternatif terhadap metode ilmiah yang kaku, Feyerabend mengusulkan pluralisme dalam ilmu pengetahuan. Ia percaya bahwa pendekatan yang berbeda-beda harus didorong dalam pencarian pengetahuan, termasuk pendekatan yang berasal dari tradisi non-Barat dan metode alternatif yang sering diabaikan oleh komunitas ilmiah arus utama.

Dalam perspektif Feyerabend, kemajuan pengetahuan tidak hanya berasal dari eksperimen dan teori ilmiah, tetapi juga dari berbagai bentuk pengalaman manusia yang lebih luas. Ia menekankan bahwa kebebasan intelektual dan keragaman metodologis adalah kunci dalam menjaga dinamika ilmu pengetahuan yang sehat.


Pemikiran Feyerabend memiliki implikasi besar dalam cara kita memahami ilmu pengetahuan dan epistemology. Pertama, dekonstruksi otoritas sains. Ia menggoyang pandangan bahwa sains adalah satu-satunya sumber kebenaran yang sah dan mengkritik klaim objektivitas yang dibuat oleh komunitas ilmiah.

Kedua, pengakuan terhadap metode alternatif. Feyerabend mendorong penerimaan berbagai pendekatan non-ilmiah dalam pencarian pengetahuan, termasuk pengalaman kultural, tradisi spiritual, dan bahkan metode yang dianggap irasional oleh sains modern.

Ketiga, pentingnya kebebasan intelektual. Ia menekankan bahwa tidak ada satu metode pun yang boleh mendominasi atau membatasi eksplorasi pengetahuan, dan bahwa kebebasan berpikir harus didukung di semua bidang keilmuan.

Tentu saja pemikiran Feyerabend ini mengundang kontroversi yang serius. Pandangannya dapat mengarah pada relativisme ekstrem di mana tidak ada cara untuk membedakan antara klaim yang valid dan yang tidak valid dalam ilmu pengetahuan.

Jika semua metode dianggap setara, maka bagaimana kita dapat menentukan keberhasilan suatu teori atau eksperimen ilmiah? Dengan kata lain, tak tersedianya standar evaluasi ilmiah. Implikasinya, gagasan Feyerabend dapat digunakan untuk membenarkan pseudosains dan teori konspirasi, karena ia menolak batasan yang jelas antara sains dan non-sains.