Ad Code

Responsive Advertisement

Anibal Quijano dan Kolonialitas Kekuasaan

Anibal Quijano adalah sosiolog Peru dan pemikir dekolonial yang terkenal karena konsepnya tentang “kolonialitas kekuasaan”. Gagasan Quijano merangsek epistemologi Eurosentris dan menyodorkan kerangka kerja alternatif untuk menganalisis hierarki global.

Inti dari pemikiran Quijano adalah gagasan tentang “kolonialitas kekuasaan”, sebuah konsep yang menjembarkan pemahaman tradisional tentang kolonialisme di luar kendali politik dan ekonomi ke sistem klasifikasi dan dominasi sosial yang lebih dalam dan lebih luas. Menurut Quijano, kolonialitas bukan sekadar fase historis yang berakhir dengan kemerdekaan politik; melainkan, ia merupakan struktur yang berkelanjutan yang terus membentuk hubungan global.

Quijano mengidentifikasi dua proses yang saling terkait yang mendefinisikan kolonialisme: klasifikasi rasial dan eksploitasi kapitalis. Kolonialisme Eropa, menurutnya, menciptakan hierarki rasial yang memberikan status superior kepada orang Eropa sambil menyubordinasikan orang non-Eropa, khususnya penduduk pribumi dan Afrika.

Klasifikasi rasial ini tertanam dalam struktur ekonomi global, yang membenarkan kerja paksa, perbudakan, dan ketergantungan ekonomi. Meskipun kolonialisme formal mungkin telah berakhir, struktur kekuasaan yang dirasialisasikan ini tetap ada dalam kapitalisme global kontemporer.

Salah satu kontribusi Quijano yang paling signifikan adalah kritiknya terhadap modernitas. Ia berpendapat bahwa modernitas dan kolonialitas tidak dapat dipisahkan; modernitas bukanlah perkembangan universal dan progresif, tetapi sebuah proyek yang secara fundamental terkait dengan dominasi kolonial.

Narasi Barat tentang modernitas, yang menekankan rasionalitas, kemajuan, dan pembangunan, mengaburkan sejarah kekerasan ekspansi dan eksploitasi kolonial yang memungkinkannya. Dengan demikian, Quijano menantang asumsi bahwa epistemologi dan institusi Barat berlaku secara universal, sebaliknya menyerukan pengakuan terhadap cara-cara alternatif non-Eropa dalam mengetahui (knowing) dan menjadi (being).

Quijano mengkritik "Eurosentrisme" sebagai kerangka epistemologis dominan yang telah meminggirkan sistem pengetahuan non-Eropa. Ia berpendapat bahwa kolonialisme Eropa tidak hanya memaksakan kontrol politik dan ekonomi, tetapi juga membangun tatanan epistemik global di mana cara berpikir Eropa menjadi standar kebenaran dan rasionalitas. “Kolonialisme epistemic” ini mengakibatkan devaluasi dan penindasan tradisi pengetahuan pribumi, Afrika, dan non-Eropa lainnya.

Bagi Quijano, dekolonisasi bukan sekadar proses politik atau ekonomi, tetapi juga perjuangan epistemik—perjuangan untuk merebut kembali sistem pengetahuan dan pandangan dunia yang ditekan. Ia menganjurkan “pembangkangan epistemik”, upaya sadar untuk melepaskan diri dari pemikiran Eurosentris dan merangkul beragam tradisi intelektual, khususnya yang berakar pada pengalaman Pribumi dan kaum subaltern.

Karya Quijano meletakkan dasar bagi apa yang kemudian menjadi "perubahan dekolonial" dalam pemikiran Amerika Latin. Bersama para cendekiawan seperti Walter Mignolo, María Lugones, dan Enrique Dussel, ia menyerukan “dekolonialitas”, proses pembongkaran struktur kekuasaan dan pengetahuan kolonial.

Dekolonialitas menuntut penentangan terhadap kolonialitas pengetahuan dengan mempromosikan epistemologi alternatif dan tradisi intelektual di luar kanon Eurosentris; menolak hierarki rasial dan cara ras terus menyusun hubungan sosial, politik, dan ekonomi; mengkritik sistem kapitalis global sebagai perpanjangan dari eksploitasi kolonial; menegaskan identitas pribumi dan subaltern sebagai sumber pengetahuan dan perlawanan yang sah. 

Posting Komentar

0 Komentar