Ad Code

Responsive Advertisement

Pemberontakan harus terjadi setiap kali

Menjadi merdeka memang bertolak dari keadaan kesadaran aposteriori. Tidak menyadari artinya tidak mengetahui—bebal, taksadar, absen, taktahu, atau takmau tahu. Kesemuanya merupakan sikap status quo—terlena oleh kemapanan.

Kemauan untuk memahami kenyataan bahwa diri ada di genggaman lain yang memalsukan substansi kedirian menjadi basis pokok dalam menggeliatkan “pemberontakan”. Ya, pemberontakan, sebuah serangan fundamental dan prinsipiil dalam rangka merombak keseluruhan tatanan nilai, sistem, ideologi, atau konstitusi hingga akarnya.

Tetapi, malangnya, acap kali pemberontakan hanya dianggap kesekajapan esensial dalam sekali jadi. Hanya sekali? Hati-hati. Di sinilah bumerangnya.

Pemberontakan tidak pernah bisa dibeku(k)kan dan dibakukan. Sebab, saat pasca-pemberontakan, kemapanan yang telah kita berontak pun pasti muncul kembali, dari dalam dirinya sendiri.

Pemberontakan harus terjadi setiap kali, setiap kemapanan berupaya menyembulkan diri. Revolusi bukan satu kali jadi, revolusi adalah rutinitas yang selalu dimanuverkan sampai mati.

*20/2/2021




Posting Komentar

0 Komentar