Mengapa tak kau ketuk pintu hatiku, kekasih? Padahal telah kusiapkan pesta yang amat mewah, yang di dalamnya hanya ada dua kursi diperantarai satu meja.
Lilin berdiri dan jelaga melayang di tengahnya dan
purnama mengambang di atas kepala. Dinding-dinding dingin kuhiasi lukisan dan
tulisan dari tanganku yang satin. Kudapan telah kuhidangkan, minuman telah
kutuangkan, ucapan-ucapan juga telah kusulam-sulam pada brokat bibirku yang
kusam.
Malangnya kau belum juga tiba, ‘tuk melempar uluk
salam pada telinga. Menunggumu adalah memetik waktu yang tak pernah
membolehkanku memejamkan kedip detikku.
Mataku senantiasa nyalang, menanti gerak kelebatan di
teras lapang, melalui jendela yang memantulkan bayang dari damar benderang.
Telingaku menjaga sunyi, menafsirkan bunyi, menelusuri suara ketukan yang akan
sampai pertama kali.
Tak ada. Tak ada yang lain selain sekelebat
bayang-bayangmu yang menjauh, mengira rinduku pada hadirmu tak bersauh. Kau
hanya mengirimkan kehadiran, tapi tiadanya ketukan mengudarakan keraguan.
Padahal, juga telah kusiapkan pesta yang amat riuh, yang di dalamnya hanya ada
netraku dan netramu yang akan saling beradu rindu.
Kekasih, mengapa tak kau ketuk pintu hatiku?
*24/9/2020
0 Komentar