Musik dan puisi adalah roh. Secara sederhana, bisa kita sebut keduanya sebagai “energi”. Kedua-duanya inheren secara absolut dalam diri manusia—dan diri-diri yang-lain—sebagai penopang ada dan ke(ber)adaan. Dengan demikian, kita tak perlu lagi untuk memahami musik hanyalah sebagai bunyi petikan senar gitar, gesekan biola, ketukan atau pukulan drum, tuts-tuts piano, suara vokal tenor/sopran, dan tiupan harpa.
Tidak. Kesemua itu hanyalah “bunyi” dari alat musik.
Tentu bukan itu yang kita maksudkan musik secara ontologis. Alat musik hanyalah
sesuatu yang instrumental. Dengan kata lain, ia bukanlah “roh”. Di sini tegas
sekali distingsinya.
Seseorang bisa saja memainkan fingerstyle gitar
secara piawai, menyanyikan lagu untuk kekasihnya dengan suara tenor/sopran, tetapi
apabila tidak mejalar hingga ke palung rohani, berarti bukanlah musik. Sebab,
hanya roh yang dapat berdialog dengan roh.
Bukan hal yang absurd apabila seseorang dapat menyimak
dengung nyamuk yang berseliweran di sekitar telinga dan ia merasakan
kege(n)taran rohaniah. Itulah musik—percakapan sederhana antara roh dengung
nyamuk dengan roh telinga pendengar.
Apakah suara knalpot yang bising tidak memiliki roh?
Semua bunyi memiliki “pola”, meski ia, secara indriawi, berbunyi dmezmskksk.
Kitalah yang bertugas menemukan w-j-d tsb. “Wujud” secara objektif
senantiasa “ada-di-sana”, tetapi ia seringkali luput untuk ditangkap secara
transparan karena pandangan kita telah terkontaminasi oleh dualitas maskulin.
Oleh karena itu, “wujud” merupakan sesuatu yang bukan semata objektif per se,
melainkan subjektif.
*10/8/2019
![]() |
http://www.pxleyes.com/photoshop-picture/4b7af7298045d/Surreal-Music.html |
0 Komentar