Manusia lazimnya adalah hewan yang berpikir/berbicara (hayawan al nathiq), tetapi juga bisa dimaknai sebagai “subjek yang mengetahui”. Manusia disebut “subjek” karena ia unggul dan paripurna (insan kamil) sebagai khalifah di bumi.
Manusia bukan
objek yang dikontrol oleh yang ada di luar dirinya, dieksploitasi, dan
dikerangkeng oleh oknum, karena manusia yang meyejarah (ego kreatif ala Iqbal);
manusia harus dan musti secara niscaya jadi subjek dalam segala lini, khususnya
dalam ilmu-pengetahuan: ia subjek bukan objek eksploitasi pendidikan---“sekolahlah
sampai kalian tahu kalau kalian dibodohi,” ujar Emha, “dan sampai kalian tahu
bahwa sekolah gagal membodohimu.”
Manusia, selain
menjadi subjek, adalah “pengetahuan”: yakni subjek dan poros pengetahuan yang
bertempat “di sentral” jaring-jaring agar bisa menggerakkan secara leluasa
rancang bangun epistemologi, dan manusia menjadi “jantung pengetahuan” untuk
memompa organ-organ pengetahuan yang lain. Jika manusia tidak menjadi subjek,
sentral, dan jantung, bisa ambruk dan nyungseplah
epistemologi.
Manusia juga spiritualis,
yakni logos yang laten dalam diri. Percikan “nur ilahi” yang muncrat
dari hembusan nafas rahmaniyyah. Manusia adalah al-‘ilm, sebagai
bentang cakrawala pengetahuan-Nya, pengetahuan manusia adalah pengetahuan-Nya,
sapuan ke-Dia-an-Nya yang ditampakkan. Manusia adalah al-ḥayāt, yakni
kehidupan-Nya, yang dicipratkan ke logos yang mendaging—bisa
diparalelkan dengan doktrin kristenitas.
Dalam bahasa Ibn
Arabi, semua selain-Nya adalah tajali-Nya yang ditampakkan dalam kelatenan dan
dilatenkan dalam ketampakan. Sesuai dengan ungkapan teologi monoteis kita “laa ilaha” (tidak ada tuhan) “illa” (penyangkalan) menuju afirmasi tegas “allāh” (hanya Tuhan
saja).
Mengetahui diri
itu penting, “know thyself” (ketahuilah/kenalilah dirimu), sebuah maksim
di pintu Delphi Yunani dua puluh lima abad silam, kiranya. Seperti apa diri
ini, agar beranjak untuk merangkak pada pengetahuan atas diri, demikianlah “pengetahuan-diri”,
yang dalam literatur sufi juga bingar didengungkan—dalam hadis basah yang sayup
absahnya—agar mengetahui tuan (rabb) dari diri ini: “man arafa nafsahu
faqad arafa rabbahu” (barangisapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya). Pengetahuan terhadap diri terkadang dikaburkan pada diri
ontis, yakni pinggiran pemahaman.
و
في الأرض آيات للموقينين
“Dan dalam jagat
adalah tanda-tanda bagi yang yakin.”
و
في أنفيكم أفلا تبصرون
“Dan di dalam diri
kalian, tidakkah kau perhatikan?”
Ayat-[tanda]-Nya
berada dalam jagat dan dalam diri. Maka, urgen sekali untuk mengetahui dansa kosmik
dan keelokan diri. Mengenali adalah mengetahui secara terperinci pengetahuan
atas diri dengan segenap kesadaran. Tiga kelindan kesadaran: kesadaran atas
kebenaran-teologis-[intelektual], kesadaran atas kebaikan-etis-[emosional], dan
kesadaran atas keindahan-estetis-[pengolahan]. Di situlah kita didulang untuk “faqad
arafa rabbahu”---sebagai tanda-Nya di dalam “arafa nafsahu”. Maka
benarlah aforisme yang tercantol di depan pintu Delphi: “know thyself.”
Namun, tanda
bukanlah menandai realitas-Nya qua Realitas, melainkan tanda hanyalah
tanda terhadap tanda terhadap realitas, karena ke-Dia-an-Nya, kanzan makhfiy
(khazanah tersembunyi/samar), hanya diketahui secara utuh oleh Dia sendiri.
Sebab, pengetahuan kita hanyalah cipratan-cipratan.[]
^Ditulis pada 10/10/2018
![]() |
thinkstock |
0 Komentar