Ada dua macam falsafah hidup: menjadi ahli astronomi atau menjadi seorang astronot.
/Ditulis pada Juni 2017/
“Siapakah aku?” pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan
“aku adalah Dinda”, karena “Dinda” cuman identitasku ketika “aku” dalam
lingkungan masyarakat—cuman sebagai nama, yang secara kebetulan atau secara
spesial diberikan oleh ayah-ibu padaku. Lalu, “siapakah aku?” ini merupakan
pertanyaan paling intim untuk menghayati keberlanjutan kehidupan kita, karena
kita acap kali terbuai dan terlalaikan oleh kepentingan-kepentingan yang
sebenarnya kurang penting, sehingga kita tidak bisa menghayati kedirian kita
sendiri secara utuh.
Para filsuf, pemikir, ataupun penyair kerap menanyakan
apa itu kehidupan. Pertanyaan-pertanyaan mendasarnya adalah “dari mana kita
berasal”, “kenapa kita di sini”, dan “ke mana kita pergi saat kita mati”.[1]
Kita sering luput untuk “menghayati hidup” dikarenakan berbagai persoalan yang
mendera dari sana-sini. Ini merupakan hal yang aneh, padahal kita, sebagai
bagian dari organisme “makhluk hidup”, malah tidak pernah bisa merasakan secara
utuh mengenai kehidupan. Maka dari itu, mulai saat kita mengeja tulisan ini,
adalah hal yang tepat untuk “menyalakan” kembali hidup kita, sebagai kehidupan
yang menyala, dengan terang-benderang, baik oleh binar purnama maupun sekadar
sekelabat dari pendar lamat-lamat obor.
“Mayoritas kita kehilangan makna, sehingga yang
ditangkap hanya permukaan-permukaan saja.”
Apakah bagi kita kehidupan sebegitu penting? Sampai di
mana letak pentingnya tersebut? Atau malah kehidupan hanya sekadar
kepentingan-kepentingan? Sehingga kita sendiri malah serasa dihempas dari
kehidupan untuk menuju kepentingan-kepentingan, lalu kita hidup dalam
kepentingan-kepentingan, dan terakhir, membawa kita lupa dengan “kehidupan”.
Jika kita bertanya apa itu kehidupan, kita boleh
mengajukan jawaban, “Kehidupan tak perlu dijelaskan, ia sudah jelas bagaikan
jelasnya waktu yang mengalun; bagaikan jelasnya cahaya yang mendera; bagaikan
jelasnya mata saat membaca. Ia telah jelas sedari awal, tanpa perlu
dikonsepsikan.” Akan tetapi, anehnya, kita malah merasa tidak jelas
terhadapnya, atau bisa disebut sedang “tidak merasa” atas kehidupan.
Belumkah kita mengalami “keheranan” terhadap kehidupan
ini. Andaikata kita merasakan bahwa rasa “keheranan” dapat membawa kita pada
kekaguman. Kekaguman didorong oleh rangsangan dari keindahan. Pada puncaknya
kita mengalami ketakjuban. Semestinya kita takjub terhadap kehidupan.
Bagaimana mungkin, kita hidup tetapi merasa sedang
tidak hidup? Lalu bagaimana agar diri ini terjaga untuk selalu menghayati
kehidupan? Tentunya, senjata kita satu-satunya adalah “kesadaran”. Terkadang,
kesadaran tidak dibentuk melalui penalaran akal, melainkan ia sebagai jiwa
instingtif yang memiliki kepekaan terhadap segala hal, ia murni dan konkret.
Seberapa tajam daya kesadaran kita? Barangkali itu tergantung derajat atau
tingkat kita dalam keakraban menjalani kehidupan; kehidupan sebagai perjalanan
dan jalan hidup sebagai kehidupan.
Saat kita mulai memahami kehidupan, begitulah
kehidupan akan memahami kita; sehingga kita dan kehidupan saling menaruh
pemahaman, menyingkapkan rahasia-rahasia yang terpendam. Salah satu rahasia kehidupan
adalah “keindahan”. Ingatlah bahwa “keindahan” dapat menggetarkan siapa pun,
yakni bahwa ia dapat membuat kesadaran seseorang menjadi pingsan.
![]() |
https://pixabay.com/id/illustrations/tangan-gadis-lampu-nyata-kartun-5879027/ |
Merasakan “keindahan” merupakan pengalaman puncak seseorang saat menghayati dalamnya kehidupan. Jika kita telah menemukan keindahan, maka kehidupan kita bukan lagi kehidupan yang mati, melainkan kehidupan yang penuh rasa estetis, dalam keadaan apa pun. Keindahan membawa kita pada “kebijaksanaan” sebagai lambar dari laku kebajikan kita dalam menghadap(i) realitas. Kita tidak mungkin berbicara “keindahan” tanpa melibatkan kelembutan dan kasih sayang.
Saat ditanya, “Kenapa membalas kejahatan dan dendam
dengan kebaikan dan kasih sayang?” Nabi Isa menjawab, “Karena di keranjangku
hanya ada bunga.”
Mereka yang telah mengalami penyatuan dengan
“keindahan”, niscaya dalam kehidupannya tiada lagi keraguan untuk berlaku
kebajikan. Cinta dan kasih sayang merupakan inti terdalam dari laku kebajikan
tersebut, sebagaimana ditunjukkan oleh sikap para bijak bestari dalam pelbagai
rekam-catatan epos maupun folklor.
“Kebenaran-kebaikan-keindahan”, merupakan segitiga
degup dari jantung kehidupan; ketiga-tiganya amat diperlukan. Kita tak bisa
mengambil salah-satunya saja, melainkan harus mempertimbangkan ketiga-tiganya.
Melalui ‘kebenaran’ kita dapat tahu ‘kebaikan’. Setelah kita melakukan kebaikan
sebagai ejawantah kebajikan terhadap semesta, kita akan mengalami penyatuan
dengan ‘keindahan’.
Rumi memberi makan kepada tiga anjing kelaparan.
Seseorang yang sedang lewat bertanya kepadanya, “Siapa anjing yang kau beri
makan itu, hei Rumi?” Rumi menjawab, “Anjing-anjing ini adalah aku.”
Dalam sebuah kisah, diceritakan bahwa ada sekelompok
orang yang diundang makan malam di rumah seorang sufi. Salah satu dari tamu
yang hadir tersebut adalah seorang pemuda yang kurang suka dengan si sufi
tersebut (sebagai pemilik acara).
Di tengah-tengah acara, tanpa aba-aba, tiba-tiba si
pemuda memukul kepala si sufi. Anehnya, si sufi malah tidak marah maupun
menunjukkan reaksi yang melawan, melainkan si sufi tersenyum girang. Si pemuda
tersebut kebingungan sekaligus malu.
“Kenapa Anda kupukul malah tersenyum?” kata si pemuda.
“Terimakasih, karena sebelumnya aku sedang sakit
kepala. Karena kamu pukul kepalaku, sekarang kepalaku sudah tidak lagi sakit,”
jawab si sufi penuh ramah dan kelembutan.
Kita tahu bahwa sebenarnya jawaban si sufi tersebut
adalah jawaban seorang yang “di keranjangnya hanya ada bunga”—seperti kata Nabi
Isa.
“Yang paling menyedihkan itu, ia bilang hidup ini
pilihan, tetapi ia memilih kebencian.”
Tidak ada yang tahu apa sebenarnya kehidupan ini,
sebab kehidupan adalah misteri. Bagaimanapun, kita dituntut untuk menjalaninya,
tetapi kita harus memaklumi bahwa dengan sekali hidup ada baiknya untuk tidak
memilih kebencian, melainkan menjalani kehidupan dengan rasa cinta kepada siapa
saja.
Persoalan misteri kehidupan adalah hal yang tiada
habisnya untuk disingkapkan. Kita tidak tahu esok akan jadi apa, mau kemana,
bagaimana keadaannya;[2] bahkan dalam persoalan “buang air kecil” saja kita tak
bisa secara akurat menentukan, “Aku besok akan buang air kecil empat kali
sehari, pada pukul 05:13, 09:34, 15:47, dan 19:23.” Itukan aneh, persoalan yang
remeh-temeh pun kita tidak tahu. Inilah misteri kehidupan yang dibalut oleh
takdir. “Apa itu takdir?”
“Cunt volentem fata, nolentem trahunt (Apabila
engkau setuju, takdir membimbingmu, apabila tidak, takdir memaksa).” —Seneca
[]
[1] Tiga pertanyaan ini aku ambil dari lirik lagu
Dream Theater yang berjudul The Spirit Carries On. Tiga pertanyaan dalam
opening lagu Dream Theater merupakan titik tolak untuk merenungkan kehidupan
dalam penghayatan eksistensial.
[2] Seekor ayam bertanya tentang nasib telurnya,
akankah menetas atau malah menjadi telor dadar.
“Banyak orang sal(i)h pada masa kesemp(i)tan berubah
menjadi orang sal(a)h pada masa kesemp(a)tan.” –Anonim
0 Komentar