^Ditulis pada 23/3/2018
Apa yang kita ketahui tentang seni? Apakah ia merupakan keterampilan berkarya/mencipta semata? Ataukah ia sebagai bentuk material dari bahasa imaterial? Apakah seni harus berkait-kutat dengan keindahan?
Apa yang kita pahami tentang estetika? Apakah estetika hanya semacam disiplin keilmuan dalam kumpulan traktat ilmiah untuk kerja apresiasi seni? Kenapa kita kerap mengharapkan keindahan dalam karya seni? Apakah itu hanyalah kelaziman yang terulang-ulang? Sampai manakah ketakterbantahan kait-kelindan antara seni dan keindahan?
Tulisan ini hendak melabrak kelaziman yang disuguhkan
oleh pemahaman kita yang dibentuk begitu saja melalui kebiasaan. Akan tetapi,
tulisan ini tidak menjanjikan komprehensivitas dan ketuntasan dalam pemaparan,
melainkan justru ingin menjuntrungkan rangsangan ke arah situ kepada pembaca
untuk meneruskan elaborasinya.
Kita mungkin bosan memahami seni hanya dari
ocehan-ocehan para kritikus seni atau sejarawan seni. Mahasiswa kesenian dan
filsafat akan lebih andal dan cakap untuk berceramah tentang itu, dan tentu itu
cukup membosankan. Untuk hal itu, kita bisa berkunjung pada berjilid-jilid
traktat dan tumpukan diktat kuliah yang memang senang mengulang-ulang definisi,
deskripsi, dan historinya.
Kita perlu mencoba mengambil sisi lain yang belum
dijamah atau setidaknya belum coba diobrolkan secara masif dan marak di
khalayak umum. Secara konseptual, kita diresapi oleh pemahaman bahwa seni
merupakan karya estetis yang dihasilkan secara elitis, dalam artian tidak
sembarang orang dapat menghasilkan karya seni. Pemahaman ini membentuk anggapan
bahwa berkesenian bukanlah pekerjaan gampang dan sembarangan, apalagi
serampangan, disebabkan perlunya keterampilan eksklusif yang menuntun
terjelmanya sebuah karya.
Seni sebagai pengalaman
Kepada ‘yang-sublim’, indera kita akan mengalami
‘ereksi estetis’. Seni dalam arti seluas-luasnya adalah daya pancar yang
merangsang indra kita menjadi tegang. Ketegangan di sini bukan berarti
inoperasional dan gangguan otot atau syaraf otak, melainkan efek kemabukan yang
didapat setelah mencicipi realitas. Secara ontologis, realitas mengimplisitkan
karya seni yang luhung dan luhur.
Pencicipan terhadap realitas bukan etos kerja nalari
dan bukan juga sekadar aktivasi naluri. Ekspresi realitas dilahap hanya, dan
hanya ketika, indra batin kita terjaga padanya. Keterjagaan (awakeness) bukan
beridentitas subjek yang siap vis-a-vis dengan objeknya (realitas), karena
setiap relasi subjek-objek adalah eksplisitasi dari dominasi, opresi, dan
hegemoni yang sifatnya patriarkis dan borjuistik. Pengalaman seni menghindari
itu.
Seni selalu dialami. Subjek ‘mengalami’ sebuah karya:
maksudnya adalah realitas tampil melalui indra batin kita sebagai sebuah karya
agung. ‘Aku’ sebagai subjek adalah ‘aku yang mengalami’, tetapi bukan
‘mengalami engkau’ yang terbaca sebagai objek[ku], melainkan ‘engkau’ sebagai
subjek pula yang sejajar menantang[ku] untuk saling mencumbu.
Aku subjek dan engkau pula subjek dalam relasi sehat
yang merdeka, sama-sama menggelarkan kemerdekaan. Sebagai pengalaman, tak
pernah ada ketuntasan dalam memerdekaan. Kita sinergi bersitegang saling
mendekap dan menciumi wangi. ‘Engkau’ mencium wangi indra[ku] dan ‘aku’ mencium
wangi sublim[mu]. Itulah singkatnya penjelasan tentang ‘mengalami’ seni.
Mengalami yang sublim
Pekerjaan seni adalah mengalami yang sublim. Secara
luas, seni merujuk pada segala kehidupan dan seluk-beluknya; perihal bagaimana
kita mengalami cinta, mengalami kegetiran, mengalami putus asa, mengalami
gairah, mengalami banalitas kejahatan, mengalami penggalan-penggalan masalah,
dan seterusnya.
Dunia manusia adalah dunia seni. Manusia adalah apa
yang diciptakannya sendiri. Penciptaan tersebut merupakan proyek tanpa
ketuntasan, tanpa kejuntrungan, dan tanpa kesimpulan final. Kehidupan
dicandrakan sebagai ‘seni prosaik’, gelepar yang gemebyar pada tiap inci yang
diwarnai oleh tangan artistik. Yang sublim ditemukan melalui tilikan-tilikan
terhadapnya. Yang sublim terkelupas, tepergoki, tertemukan begitu saja secara
telanjang, karena aktivasi seni adalah ‘menyingkap’.
Seni yang dipahami sebagai karya estetis, bukanlah
sekadar ‘estetika’ yang memiliki kerangka konseptual oposisi-biner (antara
indah dan jelek, antara sepi dan ramai, antara asri dan kotor). Estetika adalah
‘yang-sublim’ secara esa: mengejawantah tunggal tanpa ada tandingan.
Apa yang dialami sebagai ‘yang-sublim’ bukan merupakan
kerja nalar dan logika yang dogmatis, melainkan aktivasi dari kompleksitas
organ batin manusia: subtilitas persepsi, gumpalan pengalaman diri,
luapan-luapan emosi, sensibilitas erotika, dan operasi intuisi. Dari sanalah
realitas disingkap tirainya, ditangkap esensinya, dan dialami kesublimannya.
![]() |
https://unsplash.com/photos/d2w-_1LJioQ |
Epilog
Narasi kehidupan dipahami sebagai sulaman diksi sastra yang dramatik. Narasi dibaca secara gradual, tahap demi tahap dilahap, dan merenanginya dengan renungan-renungan sebagai karya agung kehidupan. Itulah kenapa pengalaman seni adalah pengalaman hidup, yang tanpa bisa direnggut kecuali oleh maut.[]
0 Komentar