Segala limpah-ruah teknologi, lazimnya, digunakan sebagai “sarana” kehidupan; ia mempermudah hidup kita secara teknis—pun ponsel pintar. Seyogianya ia diperlakukan sebagai “sarana” hidup. Namun, kini kita letakkan dirinya sebagai “sasaran” kehidupan. Ia menjadi tujuan ultim dalam segala gerak-gerik sosial. Kita selalu kebingungan membedakan dan memperlakukan “sarana” dan “sasaran”.
Kebingungan tersebut, salah satunya, disebabkan oleh
kegagapan kita untuk menikmati secara eksesif “benda modernitas”—berhala kita
berjamaah. Kita mengira telah berlabuh di sorga terindah, sebuah kehidupan yang
modern: dengan beragam (agama) ponsel pintar, dengan brands yang memandulkan
jangka panjang pikiran kita. Teknologi mengaborsi selera tinggi kita menjadi
darah kotor janin yang inferior. Ponsel pintar, benda modern, yang menjadikan
kita latah-latahan mewiridkannya sebagai doksologi rutinan kita. Ia suci,
sakral, dan kudus. Kita menyasarkan diri padanya, bukan menyaranakan dirinya
pada kita. Terus-menerus. Sarana dan sasaran berkait kelindan, tumpang-tindih,
silang sengkarut, dan acak. Kehidupan supramodern yang kocak.[]
![]() |
www.chinadaily.com |
*Pernah ditayangkan di jejakrancak.wordpress.com pada 22 Januari 2019
0 Komentar