Menimbang penggunaan bahasa campuran ngenggres-ngindo [yang menurutku menunjukkan buruknya kualitas bahasa Indonesia si penutur, tidak luput diriku sendiri], aku mengantisipasi bahwa [B]ahasa (yakni bahasa Indonesia) sekitar empat atau lima abad kemudian kemungkinan besar akan punah [anggap saja ini sejenis penujuman rekreasional].
Dalam
misi menyelamatkan Bahasa, kita perlu bergotong-royong berijtihad secara
linguistik untuk terus memompakan dan menempakan lema-lema baru ke dalam KBBI.
Terusik dari kesulitan menggunakan Bahasa untuk lema-lema tertentu, seperti
misalnya, zoom in atau zoom out, subscriber, follower,
dan semisalnya, sebagai makhluk berbahasa dan makhluk ber[B]ahasa, aku mulai
memusingkan kepala berupaya untuk merehabilitasi kebolongan ber[B]ahasa kita
serta memitigasi potensi kepunahan Bahasa di beberapa abad kemudian.
Secara kuantitatif, jumlah lema yang dimuat KBBI Edisi Kelima hanyalah 110.538 (per April 2019), sementara itu jumlah lema tersebut tak sampai separuh dari lema yang ditampung oleh Oxford Dictionary, yang berjumlah tidak kurang dari 273.000. Inilah salah satu persoalan mengapa seseorang mencampuradukkan bahasa Inggris dengan Bahasa. Dalam penggunaan teknis atau terminologis tentu tidak masalah, seperti misalnya penggunaan frasa how-to atau the way of life; atau dari bahasa Arab, waḥdat al-wujūd; dari bahasa Jerman, In-der-Welt-sein; dari Latin, ipso facto; atau dari bahasa Perancis, L’être en-soi, dan sebagainya. Akan tetapi, mengapa kita perlu menggunakan kata dinner [Kamu sudah dinner?] yang padahal jelas-jelas kita memiliki frasa “makan malam”?
Menimbang
lema KBBI yang tidak sampai separuh dari Oxford Dictionary, misalnya, dan
mengingat lema berbahasa kita yang kerap ompong dan keropos, kita niscaya
dipaksa terus-menerus bermanuver habis-habisan untuk mereposisikan dan
menginvensikan lema-lema baru atau mengadopsi lema-lema yang tak bisa kita
temukan dalam Bahasa dengan cara mengubahsuaikannya sesuai dengan langgam kita
dalam ber[B]ahasa.
Setelah
kita telah menyinggung persoalan kuantitatif, mari kita beranjak menyoroti
sedikit tajam persoalan kualitatif. Secara kualitatif, lema-lema dalam KBBI
masih kurang komprehensif dan sekadar menyentuh makna harfiah/dasar belaka.
Ambil contoh lema “ukhti” yang berarti “saudariku”. Kata yang diadopsi langsung
dari bahasa Arab itu, dalam penggunaan berbahasa dan berBahasa kita, tidak
melulu bermakna “saudariku”. Inilah alasan kenapa kita bisa katakan bahwa ada
persoalan kualitatif dalam menerangkan arti sebuah leksikon.
Membaca
Wittgenstein II, yakni berkenaan dengan language games, kita tahu bahwa
makna sebuah kata behilir mudik di dalam suatu konteks serta bersandar pada
sebuah komunitas yang menggunakan. Bagi sebuah komunitas tertentu, kata “ukhti”
memang bisa dipahami dengan makna “saudariku”, tetapi di komunitas lain, kata
itu berubah sedemikian rupa dahsyatnya sehingga kalau dipahami sebagai
“saudariku” akan menjadi amat rancu. Oleh karenanya, redefinisi dan
re-pompa-isi makna-makna baru pada setiap entri kata menjadi imperatif bagi
para pekerja bahasa. Walhasil, Edisi Kumpritologi ini diluncurkan dan
dilancarkan untuk mengover segala rasa berbahasa kita yang paling subtil dan
obskur yang belum terdeteksi oleh radar rasa berbahasa KBBI konvensional kita.
Sebagai pegiat dan penikmat sastra obskur, yang melihat sebuah kata selalu tidak tepat sasaran dalam pengertian wajarnya, aku terdorong untuk mengajak sidang pembaca untuk memperluas cakrawala [pe]makna[an] di mana pikiran kita menyengkarutkan asosiasi dan menyilangkan konotasi. Kata “oknum” misalnya, menjadi terlalu lugu bila kita sekadar menengok definisi yang disajikan oleh KBBI Edisi Kelima (atau bahkan Edisi Berapa Pun), sehingga kita perlu menerobos batas-batas literal ala KBBI Konvensional dan berkunjung pada asosiasi makna kita, dari yang paling banyolan hingga yang paling ugal-ugalan.
Dengan
demikian, kita dibawa untuk memahami bahwa bahasa — sebagaimana kata seorang
dukun asal Jerman, Martin Heidegger — merupakan “rumah [meng-]Ada”, di mana
kita bukan sekadar mendesain dan membangun rumah itu, melainkan malah didesain
dan dibangun olehnya. Alhasil, di sini, kita perlu menyadari bahwa “[ber]bahasa
kita” mengajak kita semua untuk terus menari ke titik inti sekaligus berlari ke
titik terjauh, ke sebuah ufuk, entah bagaimanapun caranya, kendati kita tahu
betul bahwa semakin ditempuh, ufuk semakin menjauh.
Akhirulkalam,
cerpen ini ditutup dengan satu frasa mujarab: “wallahualam bissawab”.[]
^Ditulis pada 9/10/2022, pernah ditayangkan di https://anggarifk.medium.com/kata-pengantar-kbbi-edisi-kumpritologi-sebuah-cerpen-nonkonvensional-1d7c2d315017
0 Komentar